"Selama 10 tahun terakhir, Gunungkidul menempati peringkat pertama kasus bunuh diri di Indonesia. Kasus bunuh diri sebenarnya bukan 100 persen karena keinginan individu saja, namun pengaruh lingkungan, pergaulan, dan kondisi ekonomi menjadi salah faktor yang memperbesar keinginan seseorang untuk melakukan bunuh diri," kata psikolog RSUD Wonosari Ida Rachmawati di Wonosari, Sabtu.
Menurut dia, bunuh diri bisa dicegah, karena sekitar 80 persen penyebab seseorang bunuh diri karena depresi dan stres. Oleh karena itu, masyarakat mesti waspada jika ada tetangga dan familinya yang mulai menarik diri dari pergaulan, mengurung diri di rumah, dan murung. Ada juga orang yang bunuh diri akibat dari keyakinan, karena bunuh diri dengan cara gantung bisa karena historis atau memang dari keluarga tersebut secara turun temurun melakukan bunuh diri.
Wilayah Gunungkidul memang termasuk tinggi angka bunuh diri, sebab berdasarkan sejarahnya, wilayah ini merupakan tempat atau pelarian prajurit yang kalah perang. Secara terpisah, Kepala Bagian Operasional Polres Gunungkidul Kompol Priyono mengatakan, saat ini kejadian bunuh diri di Gunungkidul pada 2009 mencapai 27 peristiwa.
Banyak kalangan yang juga menyangsikan fenomena pulung gantung ini sebagai penyebab bunuh diri. Dalam analisisnya seorang peneliti dari UGM menyimpulkan bahwa kasus kasus bunuh diri di Gunung Kidul lebih erat berkaitan dengan kemiskinan, kekeringan dan kesulitan hidup sehari hari. Kasus kasus bunuh diri lebih banyak terjadi di daerah daerah yang sangat kering, miskin dan sulit. Di tahun enam puluhan Gunung Kidul memang terkenal tandus dan rawan kelaparan. Tetapi perbaikan ekonomi selama beberapa tahun terakhir ternyata tak juga mampu mencegah kejadian bunuh diri. Masih banyak faktor psikologi dan psikiatrik yang tak membaik hanya semata mata dengan perbaikan ekonomi.
Dari pemberitaan di atas, fenomena bunuh diri ini tidak begitu sesuai dengan fakta sosial bunuh diri yang dicetuskan oleh Emile Durkheim. Ketidaksesuaian fakta sosial bunuh diri yang terjadi di Gunung Kidul dengan Teori Bunuh Diri milik Durkheim adalah Durkheim menyatakan bahwa “semakin tinggi tingkat integrasi suatu masyarakat maka semakin rendah pula tingkat bunuh diri di masyarakat tersebut, sebaliknya semakin rendah tingkat integrasi di suatu masyarakat maka semakin tinggi tingkat bunuh diri di masyarakat tersebut”. Jadi hubungan antara integrasi dengan bunuh diri berbanding terbalik. Sedangkan tingkat integrasi tinggi biasanya ditemukan di wilayah pedesaan, begitulah kata Ferdinan Tonnies. Gunung Kidul relatif masih pedesaan. Akan tetapi, dalam statistik tingkat bunuh diri, Gunung Kidul dikenal sebagai salah satu daerah di Indonesia yang tingkat kasus bunuh dirinya paling tinggi. Durkheim membagi macam bunuh diri ada tiga, yaitu anomi, alturistik, dan egoistik.
Kita kaji satu persatu, bunuh diri anomi akan terjadi jika orang tersebut tidak mempunyai pegangan nilai dan norma dalam hidupnya, Alturistik terjadi jika orang yang bersangkutan mengorbankan jiwanya untuk orang lain atau orang banyak, sedangkan egoistik akan dilakukan oleh si pelaku jika pelaku tersebut tidak terpenuhi keinginannya dan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Jika kita lihat demi kasus per kasus, bunuh diri yang dilakukan oleh para pelakunya di wilayah Gunung Kidul didasari atas faktor ekonomi. Faktor ini tidak bersangkutan dengan nilai dan norma pegangan hidup, atau berkorban untuk orang lain, ataupun juga mengikuti egonya sendiri. Akan tetapi, untuk bunuh diri anomi dapat juga untuk mengkatagorikan jenis bunuh diri di Gunung Kidul karena alasan pelaku menyangkut kebutuhan hidup. Karena kebutuhan hidup mereka terganggu, mengakibatkan kebingungan yang luar biasa yang dapat mengakibatkan stres. Kondisi psikis tersebutlah yang mengakibatkan pelaku untuk mengakhiri hidupnya.
mungkin ga kalo bunuh diri ini malah dikarenakan oleh tinggina tingkat integrasi???
BalasHapusketika terjadi permasalhan seluruh lingkungan tau bahkan permassalhan2 yang memalukan sehingga karena rasa malu diambilah keputusan bunuh diri itu????